PENGAKUAN ADAM
Semalam aku bermimpi sesuatu yang aneh, padahal aku
tidur dengan baik seperti mencuci tangan, membilas kaki dan menggosok gigi
dengan bersih sebelum bertamasya di alam mimpi. Tidak lupa aku selalu membersihkan
dan merapikan beberapa selimut serta bantal-bantal tidurku. Aku tak bermain handphone
sebelum tidur, aku hanya mengecek dan mengingat-ingat beberapa tugas dan deadline
yang harus kukerjakan. Untungnya semua tugasku itu selesai tepat pada waktunya,
maksudku selesai tepat sebelum deadline datang. Seperti biasa aku
memutar musik favorit sebelum tidur sebagai pengantar tidur, terasa begitu
cepat aku masuk ke dalam alam mimpi malam itu. Malam itu terasa aneh, udara
begitu sejuk dan sepoi menenangkan. Sepoinya mampu menghantarku ke haribaan
mimpi, mimpi yang begitu aneh aku melihat seorang manusia menyendiri di antara
rimbunnya tanaman bunga. Tempatnya begitu indah, katanya ini adalah firdaus,
namun ini begitu putih, hanya beberapa tanaman yang begitu rimbun namun
tertutup sejenis kabut yang begitu putih dan mata hanya bisa memandang
setidaknya hanya satu meter saja. Aku bingung, aku pun menghampiri seorang
asing itu yang hanya sendiri di dekat pohon yang begitu ranum buahnya.
“wahai seseorang, apakah ini? Dimanakah aku? Dan
engkau siapa?” Tanyaku sedikit penasaran dengannya yang sedari tadi hanya
melamun di bawah pohon tersebut.
“aku adalah adam, bapak dari kalian semua.” Tegasnya
dengan nada begitu lembut.
Aku tak menyangka dalam mimpiku yang aneh itu, aku
bertemu bapak kita semua. Aku kebingungan sebab mimpi itu, apa gerangan bapak
dari seluruh manusia itu mampir ke dalam mimpiku. Apakah aku melakukan sesuatu
yang spesial hari ini? Atau aku melakukan sesuatu yang begitu tak bisa
dimaafkan? Aku berbuat salah hari ini? Kepalaku terasa mau pecah sebab tumben
dia bekerja dengan begitu serius dan begitu keras. Aku diam sejenak, merenungi
dan menerka-nerka beberapa alasan logis yang bisa diterima oleh pikiranku kenapa
bisa seorang adam yang begitu sempurna datang padaku manusia biasa-biasa saja
ini.
“ada perihal apa engkau datang padaku wahai bapak yang
mulia?” Tanyaku dengan sedikit malu-malu sebab aku lelah menerka-nerka alasan
dalam otakku yang kapasitasnya hanya empat puluh lima GB itu.
“aku datang padamu dengan segala pengakuan wahai
anakku, aku datang hanya ingin menceritakan beberapa kisahku yang setidaknya
kamu bisa mengambil sebuah atau dua buah pelajaran darinya. Apakah kamu
berkenan mendengarkan aku nak?” Pintanya masih dengan suara yang begitu lemah
lembut dan ditambah dengan sebuah ketegasan. Adam adalah sebuah kepribadian
yang indah, begitu lembut dan penuh ketegasan. Sosok lelaki yang begitu tampan
dan rupawan, indah tubuh maupun batinnya. Sebagian dari definisi keindahan ada
pada dirinya.
“aku akan senang mendengarmu bercerita.” Lanjutku.
Sambil dipersilakan duduk di sampingnya, aku diberi kebebasan untuk memetik
buah-buahan yang ada pada taman tersebut yang katanya itu adalah firdaus.
Dengan keheranan aku berusaha menggambarkan tempat itu, namun bagaimanapun aku
berusaha menggambarkan tempat yang begitu putih begitu keras juga tempat itu
berubah-rubah bentuk. Tak ada dusta, tak ada nepotisme, tak ada korupsi dan
perbuatan-perbuatan kotor lainnya yang kebanyakan pemimpin-pemimpin lakukan di sebagian
kecil desa-desa maupun kota-kota besar di antah berantah, tak ada hal yang
seperti itu yang menodai firdaus. Katanya firdaus itu tak pernah terlihat oleh
mata dan tak terpikirkan oleh otak manusia. Jadi, bagaimanapun kita berusaha
menggambarkannya maka gambaran pada otak kita adalah sebagian kecil dari
firdaus itu sendiri bahkan lebih kecil lagi dan lagi. Firdaus begitu indah
sampai apa pun yang diinginkan seseorang yang masuk ke dalamnya akan terwujud
seketika itu juga. Saking indahnya firdaus konon kata orang-orang dahulu apa
pun tempat yang terindah di bumi adalah nol koma nol nol nol nol sekian persen
dari keindahan firdaus. Tak bisa tergambar bukan, jadi tak perlu memikirkan
bentuk firdaus itu, apalagi mempertanyakan di mana firdaus. Dulu seorang kawan
sempat menyatakan firdaus itu berada pada lapis langit ketujuh, pertanyaannya
di mana langit ketujuh? Apakah lebih jauh dari matahari? Jupiter? Neptunus?
Atau mungkin berada pada semesta yang lain? Ah sudahlah tak perlu memikirkan
itu semua, yang terpenting sekarang bagaimana kita akan masuk ke firdaus itu.
“makanlah apa pun yang kamu ingin makan terlebih
dahulu nak.” Tukas adam dengan lembut. Lalu dia akan bercerita sambil duduk di
bawah pohon yang begitu rindang dan sepoi-sepoi menyejukkan sampai membuatku
ingin berbaring dan terlelap.
“semua yang ada dalam firdaus itu kekal nak, berbagai
ragam tumbuhan, binatang sampai pada partikel-partikel kecil pun, sampai ke
detail-detail terkecil pun ada di firdaus nak, begitulah cara tuhan menghargai
setiap orang yang berbuat baik pada seseorang lainnya, begitulah cara tuhan
membalas setiap orang yang ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Jelasnya
sambil melihat beberapa bunga-bungaan warna merah.
“namun, bagaimana denganmu? Bukankah engkau adalah
salah satu dari hal-hal indah yang ada di firdaus? Kenapa bisa engkau turun
kebumi dan menjadi bapak para manusia ?” Tanyaku dengan begitu polos, padahal
aku sudah tahu kisah seorang adam yang begitu indah, apalagi tentang
percintaannya yang begitu menakjubkan dengan ibu hawa. Kisah yang begitu
memeras emosi, perpisahan yang begitu panjang antara mereka berdua. Begitu
indah, perjalanan mencari seorang kekasih, kesetiaan yang begitu heroik. Andai
semua orang mempunyai sabar seperti ibu hawa dan kesetiaan seperti bapak kita
adam, akankah tak perlu adanya sebuah pertengkaran di dunia ini. Tak ada yang
tahu.
“aku sudah menduga sebuah pertanyaan tentang
pengusiranku dari firdaus, apakah kamu penasaran dengan itu, namun jika kujawab
dengan menyalahkan ibumu hawa, itu sangat terasa tak begitu adil untuknya.
Bagaimana mungkin kekasihku yang begitu indah yang kucintai segenap langit dan
bumi itu dapat menjerumuskanku kepada hal yang salah? Kalau jawabanku
menyudutkan seorang azazil yang berbisa itu telah menggodaku untuk memanjat
pohon itu dan mengambil buah itu, aku merasa bersalah sebab menyalahkannya,
bukankah itu adalah tugasnya dia yang ditugaskan oleh tuhan untuk menjadi
seperti itu. Dan itu tak boleh, kita tak boleh menyalahkan pihak lain atas diri
kita. Atau mungkin aku akan menjawab dengan pernyataan menyudutkan tuhan bahwa
kenapa hanya dengan memakan buah khuldi itu aku bisa diusir dan diturunkan
kebumi, bukankah itu sedikit berlebihan tuhan? Begitu? Tidak nak, kita tidak
boleh menyalahkan dan menilai sesuatu apalagi menyalahkan takdir dan menganggap
semua itu begitu berlebihan. Tak boleh sama sekali anakku.
Mungkin kau akan bertanya kenapa aku tak protes kepada
tuhan, kenapa aku begitu malang terusir hanya karena satu buah? Rasa itu
terkadang muncul namun tak boleh berpikiran sampai sejauh itu, tuhan terlalu
banyak memberikanku sesuatu mulai dari seorang hawa yang menemani sepiku di
firdaus, taman yang begitu indah dengan berbagai bunga dan buah yang begitu
manis dan besar, aku tak boleh bersikap seperti itu, hanya dengan tuhan
membiarkanku hidup dengan hawa saja aku lebih bersyukur, dengan hal tersebut aku
mulai berpikir dengan aku diusir dari firdaus dan diturunkan kebumi adalah
sebuah takdir dan kewajiban kami, kami harus saling berbagi dan beranak pinak,
kemudian lahirlah seorang anak kembar empat dan salah satu di antara mereka
melakukan sebuah kekejian yang begitu sadis dengan menjadi seorang pembunuh,
pembunuh saudaranya sendiri lalu menjadi sebuah pengembara di seluruh permukaan
bumi.
Dengan hal tersebut aku mulai sadar dan memperbanyak
sebuah syukur kepada tuhan bahwa aku dianugerahi sebuah takdir yang begitu
berat dengan menjadi sebuah pemimpin di muka bumi. Aku hanya bisa menerimanya
dengan lapang dada. Dan ketika aku disodorkan buah khuldi itu oleh ibumu hawa,
aku tak bisa membayangkan bahwa cintaku yang begitu besar kepada ibumu hawa
membuatmu harus tinggal di dunia. Aku menyesal dan aku ingin meminta maaf. Aku
tak memiliki satu dendam pun kepada ibumu hawa atau pun dengan azazil yang
begitu berbisa seperti ular itu atau kepada buah yang begitu kecil itu tak
pernah ada nak. Aku sudah berdamai dengan itu semua. Namun, yang mengganggu
pikiranku hingga detik ini, apakah dengan aku tak memakan buah itu, apakah kita
semua akan tinggal di firdaus sampai sekarang?” Adam mengakhiri penjelasannya
dengan tanya yang begitu membekas. Setelah tanya itu terlontar, kenapa aku
harus terbangun dengan kondisi aku tak tahu jawaban dari apa yang di tanyakan
adam kepadaku.
***
Komentar
Posting Komentar